Minggu, 09 Maret 2014
Sejarah Rasulullah SAW
Kelahiran Muhammad
Bangsa
Arab di zaman dahulu memiliki kebiasaan menjadikan kejadian besar yang
ada sebagai patokan penanggalan. Peristiwa penyerangan pasukan Gajah
pimpinan Abrahah yang berniat menghancurkan Kabah di kota Mekah,
dianggap sebagai sebuah peristiwa besar yang layak dijadikan patokan
penanggalan. Di tahun pertama penanggalan Gajah ini, di kota Mekah dan
di tengah keluarga Abdul Mutthalib, lahir seorang bayi yang kelak akan
mengubah perjalanan sejalah manusia. Dialah Muhammad putra Abdullah bin
Abdul Mutthalib.
Kelahiran
bayi ini disambut dengan suka cita oleh keluarga bani Hasyim. Di negeri
Persia, kelahiran Muhammad bin Abdillah memadamkan api keramat yang
selama seribu tahun tidak padam. Kelahiran Muhammad juga menggoyahkan
sendi-sendi istana kaisar Rumawi. Muhammad lahir dengan membawa janji
risalah terakhir dari Allah untuk umat manusia.
Masa
sebelum kenabian lazim disebut nama jahiliyyah. Kata jahiliyyah diambil
dari kata jahl yang berarti bodoh. Dengan demikian, zaman jahiliyyah
berarti zaman kebodohan. Memang, bangsa Arab di zaman itu layak mendapat
sebutan ini. Karena selain memang tidak mengenal baca tulis, bangsa
yang hidup di jazirah Arabia ini juga memiliki kebiasaan dan perilaku
bodoh.
Menjadikan
berhala-berhala buatan sendiri sebagai tuhan untuk disembah dan dipuja,
mengubur anak perempuan hidup-hidup dan bertawaf mengelilingi Kabah
dengan cara bertelanjang, merupakan salah satu contoh dari perbuatan
bodoh bangsa ini di zaman itu. Muhammad lahir untuk mengikis kebodohan
bangsa Arab dan umat manusia secara umum dengan cahaya iman dan ilmu.
Sejak
lahir, Muhammad telah menunjukkan kelebihan yang khusus. Kehidupannya
yang dimulai dengan keyatiman karena ayahnya telah meninggal dunia
sebelum beliau lahir, penuh dengan kesusahan. Kesusahan inilah yang
menempa diri Muhammad dan mempersiapkannya untuk menjadi manusia besar
dan pemuka bagi seluruh umat sepanjang zaman. Empat tahun, Muhammad
hidup terpisah dari sang ibu, Aminah binti Wahb dan tinggal di tengah
keluarga Halimah as-Sa’diyah. Setelah berumur empat tahun dengan berat
hati, Halimah melepas Muhammad dan mengembalikannya kepada sang ibu.
Yatim Piatu
Dua
tahun kemudian, Aminah wafat, dan Muhammad diasuh oleh kakeknya, Abdul
Muththalib yang amat menyintai dan menghormatinya. Abdul Mutthalib yang
juga pemuka kaum Quresy telah meramalkan bahwa cucunya ini kelak akan
menjadi pemimpin besar bagi umat manusia. Karena itulah, kakek tua yang
amat berwibawa ini menghormati dan menyintai Muhammad lebih dari
cucu-cucunya yang lain.
Diriwayatkan
bahwa suatu hari Muhammad duduk di tempat yang dikhususkan untuk Abdul
Mutthalib. Orang-orang bangkit untuk melarangnya, tetapi Abdul Mutthalib
mengatakan bahwa Muhammad sangat layak untuk duduk di tempat itu.
Namun
keteduhan payung Abdul Mutthalib tidak berumur panjang. Menginjak usia
delapan tahun, Muhammad harus merelakan kepergian kakeknya itu. Akhirnya
Muhammad tinggl dan diasuh oleh Abu Thalib pamannya yang menyintainya
lebih dari anak-anak sendiri. Di rumah Abu Thalib inilah, beliau tumbuh
hingga menginjak usia remaja remaja.
Saat
berusia 12 tahun, Muhammad ikut menyertai pamannya, pergi ke Syam untuk
berniaga. Sudah menjadi kebiasaan kafilah dagang dari Mekah untuk
singgah beristirahat di tempat pendeta Buhaira. Kafilah Abu Thalib pun
singgah di sana. Pendeta Buhaira menyambut kedatangan kafilah itu dengan
tangan terbuka. Namun sang pendeta merasa ada keanehan. Kepada Abu
Thalib dia mengatakan bahwa dirinya menyaksikan sesuatu yang menakjubkan
di kafilah ini.
Abu
Thalib yang tidak mengetahui apa maksud sang pendeta menyatakan bahwa
dirinya tidak merasakan adanya keanehan. Hanya saja dia meninggalkan
kemenakannya yang bernama Muhammad di dalam kemah.
Mendengar
hal itu, Buhaira meminta Abu Thailb untuk membawa Muhammad masuk ke
rumahnya. Melihat remaja tampan dan sopan itu, Buhaira meminta izin Abu
Thalib untuk mengajaknya berbicara secara khusus. Sang pendeta membawa
Muhammad ke tempatnya. Gerak-gerik, tutur kata dan jengkal demi jengkal
tubuh Muhammad diperhatikannya. Selanjutnya Buhaira memanggil Abu Thalib
dan berkata, “Wahai Abu Thalib, kelak kemenakanmu ini akan diangkat
menjadi nabi. Dialah nabi yang dinanti-nantikan kedatangannya. Karena
itu, bawalah dia kembali ke Mekah dan jangan biarkan kaum Yahudi di
negeri Syam menyakitinya.”
Sesuai dengan anjuran pendeta Buhaira, Abu Thalib membawa Muhammad kembali ke Mekah.
Langganan:
Postingan (Atom)